Membaca Metamorfosa Perbandingan Agama

Oleh :

Muryana, S.Th.I., M.Hum.
(Asosiasi Studi Agama Indonesia)

Sekitar pertengahan Desember 2023, saya diminta untuk memberikan tanggapan untuk Buku “Studi Antar Agama: Metode dan Praktik” yang ditulis oleh Zainal Abidin Bagir, dkk. Buku yang terdiri dari 11 judul yang ditulis oleh 10 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Menurut pemahaman saya, ada dua bagian penting yang ingin disampaikan oleh buku ini. Pertama, perbedaan metodologi antara Perbandingan Agama, Studi Agama dan Studi Antaragama yang berulang kali ditegaskan. Kedua, program Perbandingan Agama, Studi Agama dan Studi Antar Agama dikelola di Perguruan Tinggi.

Bagian yang pertama saya dapatkan dari tulisan Zainal A. Bagir, yang mengunggulkan Intereligious Studies sebagai praktik studi agama. Kedua, tulisan Nur Ichwan tentang potret Studi Agama di IAIN/UIN Sunan Kalijaga yang condong kepada Agnostitisme Methodological. Tulisan ketiga yang ditulis oleh Robert Setio memberikan penjelasan tentang Teologi Kontekstual dalam Studi Antaragama. Ketiga tulisan ini memantapkan pertanyaan saya tentang “apa bedanya studi agama di UIN dan di UGM?”, “apa yang perlu direspon oleh Perbandingan Agama, Studi Agama dan Studi Antar Agama selanjutnya?” dan saya mendapatkan beberapa jawabannya pada delapan tulisan lainnya.

Kedelapan tulisan tersebut antara lain adalah tulisan Robert Setio tentang kebermanfaatan studi untuk karir lulusannya. Ada juga Bernard Adeney-Risakotta yang menulis tentang interreligious studies yang didasarkan pada penghormatan keberagaman Agama dan Teologi. Kemudian Frans Wijsen mendiskusikan soal Lima Pergeseran dalam Studi Agama dalam bingkai Diskursus. Keempat, tulisan Daniel K. Listijabudi yang menawarkan Hermeunetika dalam interreligious studies. Ada Ricardo Vargas Posada yang memetakan disertasi-disertasi yang ditulis oleh mahasiswa ICRS. Keenam, ada Mohammad Iqbal Ahnaf menunjukkan dengan apik kebutuhan akan Literasi agama agar orang cukup memahami agama. Izah Y.M.Lattu dan Faitmah Husein menyoalkan tentang Dialog yang mengikat di masyarakat. Terakhir tulisan Leonard C. Epafras yang mempertanyakan otoritas agama milik siapa dan kekuasaan Tuhan pindah ke mana dalam “Beragama demi adsense” di ruang digital. Dari kesemua tulisan tersebut saya menemukan bahwa pengelolaan Perbandingan Agama, Studi Agama dan Studi Antaragama sangat mempengaruhi keberhasilan kerjasama antaragama secara nyata. Dalam hal ini, termasuk di bawah naungan lembaga apa, studi ini diurus, apakah oleh Lembaga agama atau non agama. Hal ini menjadi salah faktor penentu, apakah mahasiswa yang berbeda afiliasi keagamaan dapat menikmati belajar di perguruan tinggi tersebut. Dari sini pula, pengalaman-pengalaman tentang perbandingan agama, studi agama dan studi antar agama itu diberikan secara sistemik kepada mahasiswanya. Apakah akan melahirkan keberagaman dan kekayaan perspektif? Melalui buku ini saya melihat keberhasilan ICRS mempromosikan dirinya dan meyakinkan sebagai program S3 yang layak dituju bagi siapa saja yang ingin belajar Studi Antar Agama. Meskipun saya rasa tidak pas jika mengklasifikasikan (baca: membandingkan) pengalaman belajar mahasiswa S1 di UIN dengan S3 di UGM.

Continue reading “Membaca Metamorfosa Perbandingan Agama”

Menjadikan Perbandingan Agama sebagai Cara Pandang

Oleh : Muryana, S.Th.I, M.Hum

Masih tentang Perbandingan Agama (PA), yang saat ini dikenal dengan Studi Agama-agama (SAA), saya akan menuliskan tentang apa yang saya dapatkan ketika diundang sebagai Narasumber dalam workshop Redesain Kurikulum Studi Agama-agama beberapa waktu lalu. Pertanyaan saya yang pertama, apa yang membuat redesain kurikulum dilakukan? Kedua, lulusan semacam apakah yang ingin dilahirkan oleh Studi Agama-agama?

Saya mulai dengan mencoba mengingat-ingat mata kuliah yang saya dapatkan selama belajar di Perbandingan Agama. Lalu saya melihat kurikulum yang ada sekarang. Mata kuliah yang ditawarkan tidak banyak yang berbeda, tapi ada yang baru. Nah, berdasarkan perbandingan ini (baca: salah satu keterampilan alumni perbandingan agama), ada struktur yang dapat saya tangkap. Pertama, saya belajar agama sendiri. Kedua, saya belajar agama orang lain. Ketiga, saya belajar pendekatan atau alat untuk mempelajari agama saya dan agama orang lain. Keempat, saya diminta untuk menentukan agama yang ingin saya tekuni.

Belajar agama sendiri itu saya dapatkan melalui mata kuliah-mata kuliah, dahulu istilahnya mata kuliah institusi, mata kuliah dengan tambahan kata Islam dan mata kuliah yang menjadi dasar untuk memahami Islam. Mata kuliah itu antara lain: Alquran dan Hadits serta ilmunya, Bahasa Arab, Fiqh, Tasawuf, Sejarah Peradaban Islam, Tafsir, Bahasa Arab. Saya jadi ingat penjelasan Dr. Moh Damami Zein di dalam kelas, bahwa sekolah di IAIN adalah jembatan belajar dari pesantren ke Pendidikan Tinggi. Itu berarti salah satu syarat belajar di IAIN idealnya sudah memiliki basis belajar agama Islam di jenjang sekolah sebelumnya. Jadi, sekolah di IAIN tidak ditujukan untuk belajar agama sejak dasar. Dari mata kuliah keIslaman yang ditawarkan ditujukan untuk menganalisis lebih lanjut bukan belajar dari awal. Apakah jika seperti ini akan menggoyahkan keimanan sebagai umat Islam? Ada banyak ilmu alat yang perlu dipelajari agar analisis dapat dilakukan secara cermat dan mendalam. Saya justru semakin haus akan Islam pada tahap ini dan sampai di sini.

Continue reading “Menjadikan Perbandingan Agama sebagai Cara Pandang”

MERUMUSKAN KEMBALI TANTANGAN STUDI AGAMA-AGAMA DI INDONESIA #1

Oleh: Muryana, S.Th.I., M. Hum.

Jujur, ketika diminta untuk berbagi tentang “Tawaran Gagasan Implementasi MBKM untuk SAA”, saya bingung. Apa yang harus saya bagikan?

Praktik MBKM di Sekolah Riset Satukata

Baiklah saya akan mulai dengan gambar berikut ini: Continue reading “MERUMUSKAN KEMBALI TANTANGAN STUDI AGAMA-AGAMA DI INDONESIA #1”