MERUMUSKAN KEMBALI TANTANGAN STUDI AGAMA-AGAMA DI INDONESIA #1

Oleh: Muryana, S.Th.I., M. Hum.

Jujur, ketika diminta untuk berbagi tentang “Tawaran Gagasan Implementasi MBKM untuk SAA”, saya bingung. Apa yang harus saya bagikan?

Praktik MBKM di Sekolah Riset Satukata

Baiklah saya akan mulai dengan gambar berikut ini:

Gambar di atas saya cuplik dari “Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka” yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020, halaman 5. Melihat gambar tersebut, MBKM sangat mungkin untuk dipraktikkan. Kenapa? Seperti saat kuliah, 8 Contoh Bentuk Kegiatan Pembelajaran tersebutlah yang selalu saya idam-idamkan sebagai mahasiswa dapat diberikan oleh kampus sebagai bekal kelulusan dari Studi Agama-Agama, pada zaman saya Perbandingan Agama. Begitu pun ketika saya pernah mengampu di kelas-kelas Studi Agama-Agama, saya berharap para mahasiswa dapat memperoleh pengalaman tersebut selama masih kuliah, entah secara independen/mandiri mencarinya di luar kampus, seperti yang saya lakukan dan saya sarankan kepada mahasiswa, maupun berupa kegiatan yang difasilitasi oleh kampus sebagai konsekuensi pelayanan terhadap mahasiswa atas administrasi yang harus dipenuhi. Itu yang pertama.
Kedua, saat ini saya bersama teman-teman di Sekolah Riset Satukata telah merintis dan melaksanakan kerjasama MBKM tersebut bersama Prodi Sosiologi Antropologi UNNES. Bagaimana teknisnya? Kami membuat MoU/MoA selama 5 tahun. Setiap tahunnya MoU/MoA tersebut diturunkan dalam IA untuk per kegiatan. Bagaimana bentuk kerjasamanya? Kami bertemu dalam mata kuliah metodologi riset dan pemberdayaan dalam program Sekolah Riset Kampung. Mahasiswa mendapatkan materi di ruang kelas dan suatu kampung yang kami tentukan bersama. Melalui program ini, mahasiswa mendapatkan empat hal sekaligus, yaitu: belajar riset, melakukan riset, studi independen dan praktik kerja/magang serta publikasi ilmiah, serta KKN Kilat, jika bisa dikatakan begitu. Hasil program riset kampung ini ditulis ulang bersama dosen pengampu/pembimbing, dipresentasikan dalam forum ilmiah dan dipublikasikan di jurnal, bahkan salah satu mahasiswa telah menerbitkannya menjadi sebuah buku.

Selain itu, IA (baca: Implementation of Agreement) juga diwujudkan dalam bentuk pengabdian dosen. Melalui pengabdian dosen ini, mahasiswa dilibatkan sebagai tim yang memberikan pelatihan kepada masyarakat di kampung. Pelatihan menjadi media belajar riset mahasiswa di masyarakat sekaligus praktik magang. Sangat mungkin juga, jika dikembangkan lebih lanjut menjadi Kuliah Kerja Nyata Tematik. Berdasarkan pelaksanaan 2 IA dapat dikembangkan dalam beberapa bentuk kegiatan pembelajaran di luar kampus. Saya melihat prodi sangat mendukung selama proses kegiatan kerjasama ini berlangsung.

Lalu bagaimana dengan administrasinya? Kampus memiliki standar administrasi dan kami pun juga. Selama ini dokumen berupa MoU/MoU/IA, Sertifikat, Foto dan Video Dokumentasi, Laporan masih dirasa cukup untuk menyelesaikan administrasi kampus. Bukan hanya kegiatan bersama, tapi penilaian terhadap proses belajar dan karya mahasiswa juga kami lakukan, berdasarkan standar penilaian yang kami sepakati tanpa mengabaikan standar mutu. Itu yang telah kami lakukan dalam praktek MBKM. Menurut kami, masih banyak kemungkinan untuk dikerjasamakan dan dipraktikkan.

Lalu bagaimana kemungkinan MBKM bersama SAA? Sangat mungkin untuk dilakukan. Sebagai Sekolah Riset dan bukan lembaga riset, kita dapat bekerjasama dalam mata kuliah: metodologi penelitian, metodologi penelitian agama, gerakan keagamaan, politik keagamaan, penulisan proposal, PKL, Magang/Praktik Kerja, dan kemungkinan yang lain, terutama terkait dengan belajar riset. Ini adalah penjelasan jika MBKM dibicarakan dalam konteks praktiknya. Jadi, apakah ada yang baru dalam MBKM? Bedanya adalah belajar di luar kampus telah diakui, diformalisasi dan direkognisi saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *