Wabah COVID-19 dan Masa Depan Agama-Agama

Ahmad Salehudin

ahmad salehudin

COVID-19 secara dramatis telah berhasil memaksa semua agama untuk berubah. Masjidil Haram di Mekkah dan masjid Nabawi di Madinah yang merupakan dua masjid paling umat suci umat Islam di tutup. Pengarakan Ogoh-ogoh atau patung raksasa sehari sebelum Hari Raya Nyepi dan Festival Omed-Omedan (prosesi berciuman massal sesama remaja) sehari setelahnya ditiadakan (www.liputan6.com/regional/read/4210627), sedangkan upacara Melasti (penyucian diri) tetap dilaksanakan dengan mengikuti protocol COVID-19 (www.bbc.com/indonesia/indonesia-52001349). Misa Paskah yang biasanya dihadiri ribuan orang yang berjubel di lapangan Basilika Santo Petrus untuk kali pertama tanpa dihadiri umat. Paus Fransiskus memimpin misa Paskah secara virtual (https://www.kompas.com/global/read/2020/04/12). Hal yang sama juga dilakukan Umat Buddha dalam merayakan Hari Raya Waisak 2020 pada Kamis, 7 Mei 2020. Ibadah Puja Bakti Waisak dilakukan secara live streaming sehingga umat Buddha dapat mengikuti dari rumahnya masing-masing (https://tirto.id/merayakan-waisak-di-tengah-pandemi-covid-19-fni3).

Pada awal-awal mewabahnya, beberapa kelompok-kelompok keagamaan yang mendasarkan kepada keyakinannya berani menantang COVID-19. Sedikitnya ada dua hal yang menopangnya. Pertama, keyakinan mereka bahwa kuasa Tuhan tidak akan kalah dengan “kuasa” COVID-19. Keyakinan seperti ini dapat dilihat dari banyaknya himbauan yang berseliweran di WA group untuk tetap memenuhi tempat ibadah. Kedua, adanya keyakinan bahwa tidak boleh takut kepada selain Tuhan, karena hidup mati sudah ditentukanNya. Keyakinan seperti ini cenderung membuat mereka abai terhadap upaya-upaya preventif menghindari COVID-19. Ketiga, adanya worldviews kelompok keagamaan bahwa hidup di dunia hanya sementara, dan di akhirat selamanya. Sikap ini menjadikan COVID-19 bukan sebagai ancaman, tetapi sekedar “kemungkinan” untuk mengakhiri kehidupan di dunia yang memang sementara.

Sikap keberagamaan yang demikian cenderung tidak saja membahayakan diri sendiri dan kelompoknya, tetapi juga orang lain. Aktivitas keagamaan yang diselenggarakan menjadi salah satu episentrum penyebaran COVID-19. Lebih dari separuh dari jumlah kasus COVID-19 di Korea Selatan dikaitkan dengan Gereja Shincheonji Yesus (www.wartaekonomi.co.id/read276618). Ijtima Jemaah Tabligh di India, Malaysia, dan Gowa Indonesia menjadi episentrum penyebaran COVID-19 di India, Malaysia dan Indonesia (www.bbc.com/indonesia/dunia-52146929). Selain itu, Persidangan Sinode Tahunan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) pada 26-29 Februari di Kota Bogor dan seminar keagamaan Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Kabupaten Bandung Barat pada 3-5 Maret 2020 menjadi titik awal persebaran COVID-19 di Indonesia (https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4953478). Tentu saja kita tidak boleh menutup mata bahwa episentrum COVID-19 bukan hanya hanya aktivitas keagamaan, tetapi juga aktivitas lainnya yang memungkinkan terjadinya kontak fisik.

COVID-19 menjadi semacam batu ujian bagi (institusi) agama apakah akan tetap eksis, atau akan hilang. Selama agama mampu memberikan jawaban atau mampu membingkai ketidakpastian umatnya, maka selama itu pula agama akan tetap eksis. Hanya saja, jika agama tidak mampu memberikan jawaban atas ketidakpastian tersebut, bukan mustahil akan ada eksodus meninggalkan agama-agama. Dengan demikian, COVID-19 akan menjadi proses seleksi terhadap eksistensi agama-agama.

Hukum Besi Evolusi

Ketika mengampu matakuliah Lembaga-Lembaga Keagamaan beberapa tahun yang lalu, saya mengajak mahasiswa untuk memposisikan (institusi) agama sebagaimana layaknya makhluk hidup, yaitu muncul, tumbuh, berkembang, dan juga mati (baca: hilang). Mereka hadir dalam situasi tertentu, tumbuh dan berkembang dalam kondisi yang sesuai, dan hilang ketika tidak mampu beradaptasi. Pelajaran ini yang dapat diambil dari matinya beberapa agama lama, munculnya agama-agama baru, dan tentu saja keberadaan agama-agama besar dunia (world religions) yang masih kita saksikan saat ini.

Dalam Alquran surat Al hajj (22): 17 misalnya, kita mendapatkan informasi tentang keberadaan agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Sabi’in. Yahudi dan Nasrani masih ada hingga saat ini, sedangkan agama Majusi dan Sabi’in sudah tidak ada lagi. Di Indonesia, selain enam agama yang secara resmi diakui, juga terdapat agama-agama lokal yang timbul tenggelam seiring hadirnya agama-agama baru yang secara infrastruktur lebih lengkap dan perubahan politik kebangsaan.

Ada agama yang terus berkembang, namun ada pula yang mati, ada agama baru yang muncul. Fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan hukum besi evolusi. Teori evolusi meniscayakan adanya krisis sebagai proses seleksi untuk memastikan keberlangsungan sebuah agama. Agama yang mampu beradaptasi dengan perubahan, dapat dipastikan akan dapat bertahan sebagaimana telah ditunjukkan oleh agama-agama besar dunia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, dan Buddha. Namun mereka yang tidak mampu beradaptasi, niscaya akan hilang sebagaimana agama Majusi dan Sabiin. Krisis juga memungkinkan lahirnya agama-agama baru, yaitu jika agama-agama lama tidak mampu memberikan jawaban atas krisis yang terjadi.

Seleksi Alam COVID-19

Keberadaan COVID-19 merupakan ujian nyata bagi agama-agama, yang tingkat kegawatannya mungkin belum pernah dihadapi sebelumnya. Tempat-tempat ibadah yang biasanya menjadi tempat berkumpul jamaah untuk menyembah Tuhan dan menumbuhkan sikap solidaritas terhadap sesama harus ditinggalkan untuk kemudian menjalaninya dari rumah masing-masing. Doa bersama yang biasanya dianggap ampuh untuk melawan bencana ternyata terlihat lemah ketika berhadapan dengan COVID-19. Bahkan doktrin-doktrin keagamaan yang tidak dapat dinegosiasikan juga harus dimaknai ulang atau bahkan ditinggalkan sama sekali, seperti peniadaan salat Jum’at untuk waktu yang belum ditentukan, padahal dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Tabrani disebutkan, “Siapa saja yang meninggalkan tiga kali ibadah salat Jumat tanpa uzur, niscaya ia ditulis sebagai orang kafir nifaq/munafik.”

Sampai saat ini, atau setelah sekitar 6 bulan kemunculannya, belum dapat dipastikan kapan COVID-19 akan berakhir. Ini artinya, tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, vihara, dan sinagog serta pura akan tetap ditutup dan umat tetap dilarang untuk memasukinya. Rumah tempat tinggal akan menjadi pusat-pusat peribadatan baru, dan pelayanan keagamaan akan dilakukan secara virtual. Dalam kondisi demikian, masihkan tempat ibadah diperlukan? Masihkah keberadaan pemuka agama diperlukan? Atau jika boleh mengajukan pertanyaan nakal, apakah agama-agama lama itu akan masih ada? Atau agama baru seperti apakah yang akan dilahirkan oleh krisis yang diakibatkan oleh COVID-19?

Semua pertanyaan tersebut perlu saya sampaikan agar para tokoh agama betul-betul mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi yang belum pasti diujung COVID-19. Krisis ini merupakan proses seleksi alam. Krisis hanya akan menyisakan mereka yang mampu beradaptasi.

Dosen Prodi Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sekretaris ASAI 2019-2024

One thought on “Wabah COVID-19 dan Masa Depan Agama-Agama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *